Sejarah
Konsep yang dilontarkan oleh K.H. Achiyat Chalimy sebagai siraman kepercayaan pada diri sendiri, kekuatan diri sendiri dan kemampuan diri sendiri itu ternyata menjadikan kejadian yang setahun kemudian, bahwa Nahdlatul Ulama keluar dari barisan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) pada 1-5-1952 untuk berdiri sendiri dibawah Panji Nahdlatul Ulama yang Islam Ahlussunnah wal jama’ah itu. Kebutuhan akan tenaga penerus perjuangan yang mumpuni dan menjiwai amanat perjuangan Nahdlatul Ulama amat sangat diperlukan, dan ini kiranya menyebabkan suatu permasalahan yang dibahas dan dikaji dalam rapat di Jalan Miji No. 38 (kini Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin, Jl. KH. Wahid Hasyim No. 38 Mojokerto). Mencetak kader sendiri dan menggembleng dengan semangat perjuangan yang tinggi untuk menjadi ‘’kader pilihan’’ yang terpercaya dan penuh dedikasi , adalah salah satu keputusan dalam pertemuan para pemuka Nahdlatul Ulama Cabang Mojokerto tersebut. Salah satu jalan untuk membangkitkan semangat dan memelihara kejayaan Islam ini adalah ditempuh jalan untuk mendidik para kader dengan pendidikan formal dengan berbekal Ilmu Pendidikan Agama dan Ilmu Pengetahuan Umum. Kader yang hendak digembleng kali ini adalah merupakan kader pelopor, yang nantinya akan disebar keseluruh daerah Mojokerto yang mempunyai wilayah 17 Kecamatan dan 1 Kotamadya. Langkah awal adalah mengusahakan sarana penggemblengan kader walaupun sangat sederhana. Kemudian dipanggillah beberapa tokoh pemuda antara lain :
1. Moh. Sofwan
2. Busyri Al Aly
3. Abdullah Iqnak
4. Abdullah Shomady
5. Eff. Moh. Soepadji
6. Mohammad Asy’ari
7. Abdurahman Madjid
8. Abdul Hadi Faqih
9. M. Ruchan Asy’ari
10. Abdurrachim Alamudy
11. Moh. Irfan
Bersama pengurus senior NU cabang seperti :
1. K.H.M. Bisri Chasan
2. KH.Achmad Dimyati
3. K.h. Mochammad Hasyim
4. KH. Achiyat Chalimy
5. Achmad Rifa’i
6. Syamsu Madyan
Kita akui bahwa betapa pentingnya peranan Madrasah, pesan tren, dan Masjid dan SUrau-suaru sebagai tempat membina Generasi penerus perjuangan dimasa datang, tenaga-tenaga guru pendidik untuk menunjang kebutuhan yang makin dirasakan kebutuhannya. Berkat ketekunan dan keuletan para pengurus dan dewan guru, Madrasah ini makin tahun makin berkembang dengan cepat, sehingga kesulitan sarana belajar mengajar menjadi masalah tersendiri yang perlu diatasi. Kemajuan dan perkembangan pendidikan dikalangan Nahdlatul Ulama ini, akhirnya diikuti oleh daerah-daerah seperti di Berat Kulon dengan MMNU ‘’Roudlotun Nasyi’in’’ di Brangkal Sooko dengan MMNU ‘’Wali Songo’’, di Brangkal dengan MMNU ‘’Sunan Ampel’’, sehingga guna memudahkan penyebutannya masyarakat memberikan sebutan nama sendiri bagi MMNU yang ada di Jalan Brawijaya 99 dengan nama ‘’MMNU Brawijaya’’ yang hingga kini berubah menjadi nama ‘’Brawijaya’’ menjadi ciri sebutan pendidikan NU di Jalan Brawijaya 99 ini. Perkembangan terus berjalan dan perubahan peraturan baru selalu ada, perubahan peraturan tersebut menyebutkan bahwa sekolah swasta tidak diperbolehkan menyelenggarakan Pendidikan Ilmu Keguruan karena dianggap sudah jenuh, maka MMNU berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah ‘’Brawijaya’’. Karena gentingknya keadaan politik saat itu, terutama setelah Partai NU merupakan runner up Pemilu 1971 setelah Golkar, Kepala SMP dan MTs Brawijaya dijabat oleh Achmad Marzuki (1972-1976). Setelah ketegangan politik agak mereda akhirnya pada bulan Juli 1976 kepala SMP Islam dikembalikan kepada Ach.Munthoha, sedangkan MTs Brawijaya dipindahkan tempatnya ke Jl. Empunala 448 Kedundung Mojokerto (1984). Setelah 3 tahun MTs Brawijaya pindah ke Kedundung (tahun 1984-1987) diadakan penggantian Kepala Sekolah dari Achmad Marzuki kepada Abdul Kholiq.